Kenapa? Karena film yang diadaptasi dari novel berjudul sama itu tidak sesuai dengan kriteria sensor Lembaga Sensor Film (LSF).
Tidak hanya di Indonesia, film yang soundtracknya diisi oleh Beyonce, Ellie Goulding dan The Weeknd ini juga tidak ditayangkan di negara tetangga yakni Malaysia. Hal tersebut dikarenakan film ini mengandung adegan intim secara berlebihan dan terkesan sadis.
Dari trailer resmi yang dirilis dan sumber novelnya yang ditulis oleh EL James memang memaparkan hal yang dimaksud. Yaitu sebuah fantasi bercinta liar dan membara agar kepuasan terpenuhi meski harus melibatkan sadomachochism (misal pecut dan borgol).
Fifty Shades of Grey sendiri berkisah tentang percintaan antara miliarder tampan Christian Grey dengan gadis bernama Anastasia Steele. Selain Fifty Shades of Grey, sejumlah film luar juga pernah dilarang tayang di bioskop-bioskop di tanah air.
Apa sajakah film - film itu? Simak daftar nya dibawah ini!
Noah
Lembaga Sensor Film menyatakan tidak memberi tanda lulus sensor terhadap film Noah. Film karya Darren Aronofsky dengan Russell Crowe sebagai Nabi Nuh itu dinilai tidak pas dengan ajaran agama yang dianut penduduk Indonesia.
Pertimbangan utama: Noah tidak sesuai dengan cerita dalam kitab suci. LSF meminta pengelola bioskop tidak memutar film tersebut. Putusan LSF itu dikeluarkan 21 Maret lalu.
True Lies
Film yang disutradarai James Cameron ini dibintangi aktor laga Arnold Schwarzenegger. Film buatan 1994 ini memperlihatkan banyak adegan aksi dengan efek memukau. Tapi film ini bukan sekadar film aksi. Film ini mengisahkan sosok Harry Tasker (Arnold Schwarzenegger) yang harus menyelamatkan negaranya dari ancaman teroris, selain menyelamatkan perkawinannya yang di ambang kehancuran.
Namun di film ini sosok teroris digambarkan sebagai orang Arab. Penggambaran orang Arab jadi teroris tentu menimbulkan prasangka terorisme identik dengan Arab dan Islam. Akibatnya, di negeri ini, True Lies dilarang tayang.
Schindlers List
Film arahan sutradara Steven Spielberg ini bercerita tentang peristiwa Holocaust alias pembantaian jutaan umat Yahudi di masa Perang Dunia II oleh Nazi Jerman.
Sejak membaca buku kisah Schindler's List pada tahun 1982, Spielberg sudah bertekad memfilmkannya. Sepuluh tahun berlalu, tekad itu diwujudkannya. Schindler's List bercerita tentang Oskar Schindler (Liam Neeson), pengusaha Jerman, yang mempekerjakan tawanan Yahudi di pabriknya. Semula, niatan Oskar semata masalah ekonomi--ia tak perlu bayar buruh Yahudi. Namun, belakangan rasa kemanusiaan Oskar terlecut. Ia menyelamatkan 1.100 orang Yahudi di pabriknya dari kekejian Nazi.
Schindler's List memperlihatkan kepada dunia tentang fakta-fakta keji kekejaman Nazi pada Yahudi. Namun di negara yang penduduknya mayoritas Muslim, mengangkat tema Yahudi adalah persoalan sensitif. Walhasil, di Indonesia, film ini pada akhirnya tak bisa tayang di bioskop karena ditentang umat Islam.
The Year of Living Dangerously
Film yang diangkat dari novel berjudul sama karangan C.J. Koch. dan disutradarai oleh Peter Weir. Film ini mengangkat situasi politik Indonesia pada 1965, menjelang peristiwa Gerakan 30 September (G-30 S).
Lantaran menggarap isu sensitif itu, Weir tak diberi izin melakukan syuting di Indonesia oleh Presiden Soeharto yang masih berkuasa kala itu. Sebagai gantinya, Weir memindahkan lokasi syuting ke Filipina. Weir menampilkan Jakarta mirip daerah kumuh di Calcutta, India. Jalan menuju Hotel Indonesia dilalui sapi yang lalu-lalang. Bagi penonton Barat, film ini berhasil memotret situasi politik Indonesia saat itu dengan baik. Film ini memberi tiket bagi Peter Weir dan Mel Gibson, keduanya asli Australia, berkiprah di Hollywood. Satu Piala Oscar diraih Linda Hunt untuk aktris pembantu terbaik.
Kisah diawali kedatangan Guy Hamilton (Gibson) di Jakarta sebagai wartawan media Australia, ABS pada 1965. Sebagai wartawan baru Guy beruntung bertemu fotografer blasteran Australia-Cina, Billy Kwan (Hunt). Berkat Billy, Guy berhasil mewawancarai Ketua Umum PKI, Aidit. Billy juga mengenalkan Guy pada Jill Bryant (Sigourney Weaver), wanita cantik yang bekerja di kedubes Inggris.
Sejurus kemudian Guy dan Jill berpacaran. Jill memberi tahu informasi rahasia kalau Tiongkok mengirim satu kapal laut penuh senjata untuk mempersenjatai PKI. Informasi ini diberitakan Guy. Buntutnya, ia jadi sasaran PKI. Sebelum tertangkap PKI, keburu terjadi peristiwa G-30 S. PKI kalah dan justru dibasmi militer. Karena mengangkat kekacauan Indonesia di tahun 1960-an film ini dilarang tayang di Indonesia. Saat Orde Baru tumbang, filmnya kemudian dirilis dalam bentuk VCD original dan pernah pula tayang di TV nasional.
Film yang diangkat dari novel berjudul sama karangan C.J. Koch. dan disutradarai oleh Peter Weir. Film ini mengangkat situasi politik Indonesia pada 1965, menjelang peristiwa Gerakan 30 September (G-30 S).
Lantaran menggarap isu sensitif itu, Weir tak diberi izin melakukan syuting di Indonesia oleh Presiden Soeharto yang masih berkuasa kala itu. Sebagai gantinya, Weir memindahkan lokasi syuting ke Filipina. Weir menampilkan Jakarta mirip daerah kumuh di Calcutta, India. Jalan menuju Hotel Indonesia dilalui sapi yang lalu-lalang. Bagi penonton Barat, film ini berhasil memotret situasi politik Indonesia saat itu dengan baik. Film ini memberi tiket bagi Peter Weir dan Mel Gibson, keduanya asli Australia, berkiprah di Hollywood. Satu Piala Oscar diraih Linda Hunt untuk aktris pembantu terbaik.
Kisah diawali kedatangan Guy Hamilton (Gibson) di Jakarta sebagai wartawan media Australia, ABS pada 1965. Sebagai wartawan baru Guy beruntung bertemu fotografer blasteran Australia-Cina, Billy Kwan (Hunt). Berkat Billy, Guy berhasil mewawancarai Ketua Umum PKI, Aidit. Billy juga mengenalkan Guy pada Jill Bryant (Sigourney Weaver), wanita cantik yang bekerja di kedubes Inggris.
Sejurus kemudian Guy dan Jill berpacaran. Jill memberi tahu informasi rahasia kalau Tiongkok mengirim satu kapal laut penuh senjata untuk mempersenjatai PKI. Informasi ini diberitakan Guy. Buntutnya, ia jadi sasaran PKI. Sebelum tertangkap PKI, keburu terjadi peristiwa G-30 S. PKI kalah dan justru dibasmi militer. Karena mengangkat kekacauan Indonesia di tahun 1960-an film ini dilarang tayang di Indonesia. Saat Orde Baru tumbang, filmnya kemudian dirilis dalam bentuk VCD original dan pernah pula tayang di TV nasional.
Balibo Five
Pada 1975 Indonesia mengintegrasikan wilayah bekas jajahan Portugal di ujung pulau Timor. Peristiwa itu lebih pas disebut operasi militer. Lima wartawan Australia dikirim meliput peristiwa itu. Lima jurnalis itu kemudian tewas di Balibo, wilayah perbatasan di Timor Leste.
Versi filmnya rilis awal 2009 di Australia. Hanya sepekan sebelum Kepolisian Australia (AFP) mengumumkan akan membuka kembali kasus-kasus dugaan kejahatan perang itu. Menurut pihak Australia, Gary Cunningham, Malcolm Rennie, Greg Shackleton, Tony Stewart, dan Brian Peters diduga dieksekusi oleh pasukan khusus TNI pada Oktober 1975. Tujuannya, agar mereka tidak menyiarkan secara detail invasi Indonesia atas Timor Timur.
Film ini dilatarbelakangi cerita mantan jurnalis senior Roger East. Saat itu East sedang menyelidiki kematian kelimanya. Di film itu East diperkenalkan dengan Wilayah Timor-Timur oleh Presiden Jose Ramos Horta.
Sebaliknya, bagi Indonesia, kasus Balibo telah selesai. Pemerintah jauh-jauh hari telah menyatakan tidak ada pembunuhan, kelima wartawan tersebut tewas dalam baku tembak antara TNI dan tentara pro kemerdekaan Timor Timur. Kasus Balibo, bagi Indonesia telah ditutup. Versi filmnya semula dijadwalkan diputar di Jakarta International Film Festival (Jiffest) tahun 2009. Namun, LSF melarang pemutaran film tersebut. Pemutaran perdana film kontroversial Balibo Five karya sutradara Robert Connolly di Jakarta, Selasa malam 1 Desember 2009, batal karena tidak mendapat izin LSF. Ketika pemberitaan soal Balibo Five dan larangannya menghangat, versi bajakan film ini dengan mudah dapat dibeli di lapak DVD bajakan.
Sebaliknya, bagi Indonesia, kasus Balibo telah selesai. Pemerintah jauh-jauh hari telah menyatakan tidak ada pembunuhan, kelima wartawan tersebut tewas dalam baku tembak antara TNI dan tentara pro kemerdekaan Timor Timur. Kasus Balibo, bagi Indonesia telah ditutup. Versi filmnya semula dijadwalkan diputar di Jakarta International Film Festival (Jiffest) tahun 2009. Namun, LSF melarang pemutaran film tersebut. Pemutaran perdana film kontroversial Balibo Five karya sutradara Robert Connolly di Jakarta, Selasa malam 1 Desember 2009, batal karena tidak mendapat izin LSF. Ketika pemberitaan soal Balibo Five dan larangannya menghangat, versi bajakan film ini dengan mudah dapat dibeli di lapak DVD bajakan.
Balibo memenangkan penghargaan Best Australian Film pada Australian Film Critics Association pada 2009.
http://www.merdeka.com/dunia/lima-film-ini-dilarang-tayang-di-indonesia.html